Ulama Panutan Umat


 » وَلِلَّهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَلَٰكِنَّ الْمُنَافِقِينَ لَا يَعْلَمُونَ «

“Dan kemuliaan itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi orang-orang mukmin, tetapi orang-orang munafik itu tiada mengetahuinya.” (QS. Al-Munafiqun: 8).

Saudaraku,

Pada edisi yang lalu telah disinggung model ulama yang bertebaran di zaman kini, yakni ulama su’, ulama yang buruk. Yang tidak mencerminkan keteladanan bagi umat. Bahkan membingungkan umat. Perilakunya tidak selaras dengan ucapannya. Petuahnya tidak seperti perbuatan dan tindak tanduknya.

Arahnya sering berbelak belok. Coraknya sering berubah-ubah. Warnanya tidak konsisten, sesuai dengan warna kepentingan dan maslahat yang ingin dikejarnya. Idealisme pun memudar. Semangat berjuangnya melemah. Sinar petunjuknya luntur tak berbekas.

Saudaraku,

Suatu ketika khalifah bani Umayyah yang bernama Sulaiman bin Abdul Malik mengadakan perjalanan ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Saat ia thawaf mengelilingi ka’bah al-musyarrafah, tanpa sengaja matanya melihat bayangan sosok ulama kharismatik pada masa itu; Salim bin Abdullah bin Umar yang sedang bersimpuh khusyu' ibadah di depan Ka'bah. Ia larut dalam zikir dan tenggelam dalam lautan munajat kepada-Nya. Air mata menggenangi pipinya. Khasyah (takut pada Allah) membayang di wajahnya.

Tentu, Salim bukanlah orang asing bagi sang khalifah. Ia adalah cucu al-Faruq; Umar bin Khattab r.a. Dari sekian banyak cucu Umar, Salim-lah yang perwajahannya, tampilan fisik dan kepribadiannya sangat mirip dengan khalifah al-Rasyid yang kedua itu. Artinya secara zahir dan bathin, ia menyerupai pemimpin yang zuhud itu.

Setelah thawaf dan melaksanakan shalat dua raka'at, sang khalifah mendekat dan menghampiri Salim. Orang-orang yang melihatnya, segera memberinya tempat. Ia menunggu dengan sabar hingga cucu Umar itu menuntaskan zikir dan do'anya.

Setelah memberi salam, khalifah berkata, "Sebutkanlah (wahai Salim) apa yang menjadi keperluanmu, niscaya akan ku penuhi."

"Demi Allah, hati ini teramat malu untuk meminta sesuatu di rumah Allah, terlebih sesuatu itu aku memintanya kepada selain-Nya." Jawab Salim singkat.

Mendengar jawaban Salim, raut wajah khalifah menjadi merah anggur karena menahan malu.

Saudaraku,

Setelah bermunajat kepada Allah s.w.t, Salim keluar meninggalkan masjidil haram. Banyak orang yang mengejar dan mengerumuninya dengan beragam keperluan, termasuk sang khalifah. Ada yang bertanya perihal balasan dan siksa di akherat. Ada yang bertanya tentang hadits dan makna ayat. Ada yang meminta fatwa tentang persoalan agama. Ada yang minta disambungkan do'a. Adapun khalifah, ingin memberi sesuatu dari kenikmatan dunia, yang barangkali diinginkan oleh Salim.

Khalifah berkata, "(Duhai Salim), sekarang kita telah berada di luar masjid, katakanlah hajatmu yang ingin aku penuhi untukmu?."

"Keperluan dunia atau keinginan akherat?." Komentar Salim.

Khalifah menjawab, "Sudah barang tentu dari hajat dunia."

Dengan penuh wibawa Salim berkata, "Aku tidak pernah meminta kebutuhan dunia dari Pemiliknya (Allah s.w.t), bagaimana mungkin aku memintanya kepada yang tidak memilikinya (manusia)?."

Sang khalifah tak mampu menyembunyikan rasa malunya, sambil berlalu ia berkata, "Alangkah mulianya hati kalian wahai keturunan al-Khattab."

(Terinspirasi dari buku "Tharaif wa mawaqif min al-tarikh al-Islami", karya; Hasan Zakaria Falaifil).

Saudaraku,

Itulah kisah tentang kemuliaan sejati. Izzah yang hakiki. Harga diri yang dikehendaki Allah s.w.t dan Rasul-Nya. Izzah yang semestinya menjadi dambaan kita semua sebagai ummat Muhammad s.a.w.

Kemuliaan yang lahir dari memegang prinsip hidup yang kokoh dan kuat. Menjaga norma-norma agama. Membentengi diri dengan menggantungkan harapan hanya kepada yang Maha Kaya. Tidak mengadu dan meminta kepada selain-Nya. Tidak memiliki ketergantungan kepada makhluk yang penuh dengan kelemahan dan kekurangan.

Sebuah kemuliaan yang tak mungkin diraih oleh orang-orang yang tamak terhadap dunia. Mengejar kebahagiaan sesaat. Silau dengan kenikmatan semu. Tergiur dengan iming-iming harta dan tahta. Bangga memakai mahkota jabatan. Terpedaya dengan penghormatan dan cium tangan para pengagum. Terpesona duduk manis di kendaraan mewah. Di dampingi para artis dan selebritis ternama. Kagum dengan jumlah pengikut yang sarat basa basi. Dan seterusnya.

Saudaraku,

Dari kisah di atas, kita dapat menggali beberapa mutiara berharga bagi kehidupan kita.

Penguasa dambaan umat, adalah penguasa yang dekat, menghormati dan menghargai para ulama. Bukan menjauhinya apatah lagi menyingkirkannya. Sejarah mencatat, bahwa kegemilangan umat ini terwujud karena para penguasa menjadikan para ulama sebagai penasihat dan mitra dialog dalam menjalankan roda kekuasaannya. Sebaliknya penguasa yang menjauhi, memusuhi dan bahkan menyingkirkan para ulama, maka ia akan dilaknati dan dimusuhi oleh rakyatnya sendiri. Do’a-do’a buruk mengiringi hari-hari dan sepanjang malam-malamnya.

Tawaran sang khalifah; Sulaiman bin Abdul Malik kepada Salim bin Abdullah bin Umar untuk memberinya sebagian dari kenikmatan dunia, bukan bertujuan untuk menyuap atau sebagai alat pelicin. Agar kekuasaannya tak diusik atau dikritisi oleh para ulama. Tapi pemberian tulus dan merupakan bukti bahwa ia sangat menghormati dan menghargai para ulama. Membutuhkan nasihat dan petuahnya agar kapal kekuasannya berlayar di samudera berkah yang luas membahana.

Salim, menolak tawaran khalifah bukan lantaran ia tak menghormati penguasa, merendahkannya apalagi membencinya. Tapi ia ingin memberikan pelajaran kepada orang-orang di sekelilingnya dan juga kepada kita generasi setelahnya tentang hakikat zuhud dan waspada terhadap tipu daya dunia. Agar kita tak meminta kepada selain-Nya. Agar dunia tidak menjadi obsesi pertama dalam hidup kita. Agar kita tak dipandang rendah di hadapan manusia. Tapi hanya tunduk dan merendahkan diri di hadapan-Nya. 

Salim bisa saja meminta jabatan strategis, harta benda dunia, kemewahan hidup dan yang seirama dengan itu. Tapi tidak ia lakukan. Karena ia tidak ingin bergantung kepada selain-Nya. Memiliki ketergantungan kepada makhluk-Nya. Karena ketergantungan kepada manusia adalah belenggu. Bantuan manusia adalah pengganggu irama kehidupan.

Parameter kemuliaan seseorang tidak terletak pada jabatan yang disandang. Atau kendaraan mewah model terbaru yang menghiasi garasi rumah. Atau meraih sederet prestasi puncak, memenangi gobel awards atau meraih bintang. Bukan pula diukur dengan banyaknya pengikut dan fans. Atau menggapai popularitas yang dikejar, kedudukan tinggi dan yang senada dengan itu. Hal itu bisa saja menjadikan kita mulia di mata manusia, tapi tidak di mata Allah s.w.t. Karena manusia sering terjebak menilai sesuatu dari tampilan luar, sementara Allah s.w.t hanya melihat hati dan amal shalih kita. 


Kemulian hakiki teraih, jika kita semakin mendekat dan menjaga hukum-hukum-Nya dalam kehidupan kita. Kehormatan sejati akan berlabuh dalam pelukan kita. "Padahal kemuliaan itu hanya bagi Allah, Rasul-Nya dan orang-orang mukmin." (QS. Al-Munafiqun: 8).

Saudaraku,

Jika ada penguasa yang menawarkan sebagian kenikmatan dunia kepada kita, tentu tanpa menunggu hitungan detik, kita langsung menyebutkan apa saja yang kita inginkan dalam hidup ini. Karena hati kita masih silau dengan dunia. Karena jiwa kita belum mampu menghadirkan warna kenikmatan surga. Karena para bidadari bermata jeli di surga Firdaus, baru mampu kita senandungkan dalam nasyid-nasyid Islami kita, dan belum mampu kita hadirkan bayangannya di pelupuk mata.

Melandasi sebuah perjuangan dengan iming-iming dan pamrih dunia adalah fatamorgana. Seperti kita mau membantu dan mensukseskan calon tertentu dalam sebuah pilkada, tapi kita minta kain pengering keringat, mahar politik, imbalan dan seterusnya.

Saudaraku,

Sudahkah kita menjadi orang mulia di hadapan Allah s.w.t?. Tanyakanlah pada hati nuran di dasar jiwa kita. Wallahu a'lam bishawab.


Metro, 08 Oktober 2020

Fir’adi Abu Ja’far

Terima kasih telah membaca, mudah-mudahan apa yang anda baca ada manfaatnya. Dengan senang hati, jika anda berkomentar pada tempat yang disediakan dengan bahasa yang santun..

Posting Komentar

Terima kasih telah membaca, mudah-mudahan apa yang anda baca ada manfaatnya. Dengan senang hati, jika anda berkomentar pada tempat yang disediakan dengan bahasa yang santun..

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama