Topeng Wajah

Topeng Wajah


 » فَإِنَّهَا لاَتَعْمَى اْلأَبْصَارُ وَلَكِن تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ «

“Maka sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta adalah hati yang ada di dalam dada.” (QS. al-Hajj: 46).

Saudaraku,

Seorang penyuluh agama, peng-obor kebenaran, penyebar kebaikan dan pewarna kebajikan dari Siria yang bernama Mustafa al-Siba’i pernah menulis dalam karyanya yang fenomenal “hakadza ‘allamatni al-hayat”,

“Seorang tokoh agama  yang bermental hipokrit pernah ditanya oleh seseorang, "Mengapa anda selalu berubah wajah setiap kali terjadi suksesi kekuasaan?."

Ia menjawab, "Demikianlah Allah menciptakan hati manusia selalu berbolak-balik. Jika hatiku tidak berubah coraknya, berarti aku menyalahi garis aturan Allah s.w.t." (Hakadza 'allamatni al-hayat, Mustafa al-Siba'i).

Saudaraku,

Salah satu model mental buruk manusia pada zaman ini dan sudah ada pada generasi sebelumnya adalah mental hipokrit, berwajah dua, rapuh dalam mengukir keta’atan, lemah amal baiknya, keropos keikhlasannya, berorientasi ganda, bercabang tujuannya, dan meletakkan banyak kakinya. Dan endingnya adalah mendapatkan manfaat pribadi dan memuaskan syahwat materialiti.

Padahal mental hipokrit ini melemparkan seseorang pada lembah kehampaan. Mengelompokannya pada kelompok manusia palsu. Wajah dipenuhi debu. Dijuluki oleh banyak orang sebagai pendusta dan penipu. Atau biasa bergelar ‘oportunis’.

Sikap dan tindakan semacam ini akan menetaskan penyesalan diri yang tak kunjung tersudahi. Di dunia fana yang bertepi dan ukhrawi mendapat siksa yang tak henti. Di sana merintih dalam azab fisik dan maknawi.

Di dunia, mengalami krisis identitas diri. Dijauhi teman dan sahabat hakiki. Mengalirkan air keruh di lembah hati. Dibenci sanak saudara dan famili. Jabatan dan profesi menepi. Dicurigai anak dan istri. Harta dan kekayaan yang ada dalam genggaman tangan tidak diberkati. Indahnya kebersamaan berakhir dalam ruang gelap seorang diri.

Saudaraku,

Menjelang Pilkada serentak 9 Desember 2020, banyak orang yang memasang banyak kaki. Tidak sedikit yang mengatas-namakan dirinya sebagai relawan dan tim pemenangan terhadap calon tertentu. Berbagai upaya dilakukan untuk mengambil hati dan kepercayaan dari para calon. Mencurahkan tenaga dan waktu. Tidak memperdulikan panas dan hujan yang datangnya sewaktu-waktu. Istilah mahar politik dan “suara berbisik” tidak lagi menjadi tabu. Karena yang ditabur bukanlah tempe dan tahu. Sehingga populer istilah tahu sama tahu.

Namun setelah yang dibantu duduk di kursi empuk nan syahdu, banyak pihak yang meminta upah lelah dan keringat politik dengan tuntutan yang bertalu-talu. Walau tidak jarang berakhir seperti empedu. Lisan mencela dan lidah menggerutu. Karena jiwa merasa kalah dan tertipu.

Saudaraku,

Para tokoh spiritual dan penyuluh agama serta da’i di jalan Allah adalah pelita umat dan pembangun generasi harapan. Di tangan mereka tertumpu masa depan umat. Di otak mereka terpahat peradaban gemilang. Ke-emas-an zaman diharapkan kembali terulang.

Ironi, jika mereka yang diteladani justru menjadikan umat terombang-ambing dalam kebingungan. Arah yang dituju tiada kepastian. Obor yang ditawarkan seperti padam menggelapkan. Sinar petunjuknya menjadi samar membayang. Umat pun ibarat dibiarkan berjalan di atas pegunungan licin yang menggelincirkan. 

Itu semua diperbuat demi meraih seonggok nikmat dunia yang ditawarkan. Senyuman dan gelak tawa sesaat. Wajah sumringah bersulam kegetiran jiwa. Walau terkadang nama dan harga diri dipertaruhkan. Kewibawaan dan muru’ah tergadaikan.

Saudaraku,

Di negeri kita adakah da'i, penceramah, ahli agama, rujukan persoalan agama yang bermental seperti itu? Jika ada berarti ia masuk dalam jajaran hipokritisme. Membenarkan sikap mendua demi mencapai tujuan. Memakai wajah, baju dan tampilan berbeda saat terjadi suksesi kekuasaan dan momen-momen politik lainnya.   

Tema-tema yang diangkat, konten nasihat, muatan pengajian dan ceramah serta fatwa-fatwa serta tulisannya tertuang selalu berubah-ubah disesuaikan dengan maslahat dan kepentingan dirinya.

Ibn  al-Qayyim mengistilahkannya dengan “ulama su’”. Model ulama yang membahayakan diri dan umatnya. Menyesatkan dirinya dan orang-orang yang mengikutinya. Ulama tipe ini selalu bermunculan di setiap tempat dan masa, tak pernah sepi dari keberadaannya.

Dalam hal ini, Ibn al-Qayyim mengilustrasikan dalam karyanya ‘al-fawaid’, “Ulama su’ (ulama yang buruk) duduk di depan pintu surga dan mengajak manusia untuk masuk ke dalamnya dengan ucapan dan seruan-seruan mereka. Tapi mereka mengajak manusia untuk masuk ke dalam neraka dengan perbuatan dan tindakannya. Ucapan mereka (berkata) kepada manusia: “Kemarilah! Kemarilah!” Sedangkan perbuatan mereka berkata: “Janganlah engkau dengarkan seruan mereka”. Seandainya seruan mereka itu benar, tentu mereka adalah orang yang pertama kali memenuhi seruan itu.” 

Saudaraku,

Kita sebagai umat, agar selamat dunia dan akherat, maka ikutilah ulama akherat. Yang nasihat dan ucapannya penuh hikmat. Tindakannya terarah,terukur dan sarat berkat. Mendapat do’a ampunan dari penghuni bumi dan malaikat. Meneladaninya akan menghadirkan kebaikan dan memancarkan cahaya saat melewati sirath..dan seterusnya.

Berhati-hati dalam ucapan, tindakan dan mengayunkan langkah serta menetapkan sikap merupakan jalan selamat. Jangan terpedaya dengan rayuan dan tawaran manis sesaat. Agar kita terhindar dari harta haram dan syubhat. Ingatlah bahwa kebahagiaan sejati adalah surga di akherat. Bukan pada kamuflase dunia yang menjerat.

Semoga Allah s.w.t menjauhkan kita dari bermental mendua dan menjauhkan orang yang berwajah dua dari kehidupan kita. Amien. 


Metro, 01 Oktober 2020

Fir’adi Abu Ja’far

Terima kasih telah membaca, mudah-mudahan apa yang anda baca ada manfaatnya. Dengan senang hati, jika anda berkomentar pada tempat yang disediakan dengan bahasa yang santun..

Posting Komentar

Terima kasih telah membaca, mudah-mudahan apa yang anda baca ada manfaatnya. Dengan senang hati, jika anda berkomentar pada tempat yang disediakan dengan bahasa yang santun..

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama