Anda tentu sebagaian ada yang kenal dengan pahlawan Islam satu ini. Ia dikenang sebaga“Pejuang di
waktu senang atau pun susah”.Rasulullah saw.
memasuki kota Madinah, dan dengan demikian berarti beliau telah mengakhiri
perjalanan hijrahnya dengan gemilang, dan memulai hari-harinya yang penuh
berkah di kampung hijrah, untuk mendapatkan apa yang telah disediakan qadar
Ilahi baginya, yakni sesuatu yang tidak disediakannya bagi manusia-manusia
lainnya. Dengan mengendarai untanya Rasulullah saw. berjalan di tengah-tengah
barisan manusia yang penuh sesak, dengan luapan semangat dari kalbu yang penuh
cinta dan rindu, berdesak-desakan berebut memegang kekang untanya, karena
masing-masingnya menginginkan untuk menerima Rasulullah saw.
sebagai tamunya.
Nabi saw.
mula-mula sampai ke perkampungan Bani Salim bin Auf, mereka mencegat jalan unta
sembari berkata, “Wahai Rasulullah saw. Allah tinggallah Anda pada kami,
bilangan kami banyak, persediaan cukup, serta keamanan terjamin.” Tawaran
mereka dijawab oleh Rasulullah saw., “Biarkanlah, jangan halangi jalannya
Qaswa (onta Rasulullah saw), karena ia hanyalah melaksanahan perintah.”
Kendaraan Nabi saw. terus melewati perumahan Bani Bayadhah, lain ke kampung Bani Sa’idah,
terus ke kampung Bani Harits ibnul Khazraj, kemudian sampai di kampung Bani Adi
bin Najjar . Setiap suku atau kabilah itu mencoba mencegat jalan unta Nabi, dan
tak henti-hentinya meminta dengan gigih agar Nabi saw. sudi membahagiakan
mereka dengan menetap di kampung mereka. Sedang Nabi menjawab tawaran mereka
sambil tersenyum syukur di bibirnya ujarnya, “Lapangkan jalannya, harena ia
diperintah.”
Nabi saw.
sebenamya telah menyerahkan memilih tempat tinggalnya kepada qadar Ilahi,
karena dari tempat inilah kelak kemasyhuran dan kebesarannya . Di atas tanahnya
bakal muncul suatu masjid yang akan memancarkan kalimat-kalimat Allah dan
nur-Nya ke seantero dunia . Dan di sampingnya akan berdiri satu atau beberapa
bilik dari tanah dan bata kasar, tidak terdapat di sana harta kemewahan dunia
selain barang-barang bersahaja dan seadanya.
Tempat ini akan
dihuni oleh seorang Mahaguru, Rasulullah saw. yang akan meniupkan ruh
kebangkitan pada kehidupan yang sudah padam, dan yang akan memberikan kemuliaan
dan keselamatan bagi mereka yang berkata, “Tuhan kami ialah Allah”, kemudian
mereka tetap di atas pendirian bagi mereka yang beriman dan tidak mencampurkan
keimanan itu dengan keaniayaan,bagi mereka yang mengikhlaskan Agama mereka
semata-mata untuk Allah swt. dan bagi mereka yang berbuat kebaikan di muka bumi
dan tidak berbuat binasa.
Benarlah,
Rasulullah saw. saw. telah menyerahkan sepenuhnya pemilihan ini kepada qadar
Ilahi yang akan memimpin langkah perjuangannya kelak. Oleh karena inilah beliau
membiarkan saja tali kekang untanya terlepas bebas,
tidak ditepuknya kuduk unta itu tidak pula dihentikan langkahnya hanya
dihadapkan hatinya kepada Allah, serta diserahkan dirinya kepada-Nya dengan
berdo’a,
“Ya Allah, tunjukkan tempat tinggalku, pilihhanlah untukhu.”
“Ya Allah, tunjukkan tempat tinggalku, pilihhanlah untukhu.”
Di depan rumah
Bani Malik bin Najjar unta itu bersimpuh kemudian ia bangkit dan berkeliling di
tempat itu, lain pergi ke tempat ia bersimpuh tadi dan kembali bersimpuh lalu
tetap dan tidak beranjak dari tempatnya. Maka turunlah Rasulullah saw. dari
atasnya dengan penuh harapan dan kegembiraan. Salah seorang Muslimin tampil
dengan wajah berseri-seri karena sukacitanya ia maju lalu membawa barang muatan
dan memasukkannya ke rumahnya kemudian mempersilakan Rasulullah saw. masuk.
Rasulullah saw. pun mengikutinya dengan diliputi oleh hikmat dan berkat.
Maka tahukah
Anda siapa orang yang berbahagia ini, yang telah dipilih taqdir bahwa unta Nabi
akan berlutut di muka rumahnya, hingga Rasulullah saw. menjadi tamunya, dan
semua penduduk Madinah akan sama merasa iri atas nasib mujurnya. Nah, dia
adalah pahlawan yang jadi pembicaraan kita sekarang ini, Abu Ayub al-Anshari Khalid bin Zaid, cucu Malik bin Najjar.
Pertemuan ini
bukanlah pertemuan yang pertamanya dengan Rasulullah saw. Sebelum ini, yakni
sewaktu perutusan Madinah pergi ke Mekah untuk mengangkat sumpah setia atau
bai’at, yaitu bai’at yang diberkati dan terkenal dengan nama “Bai’at Aqabah
kedua”, Abu Ayub al-Anshari termasuk di antara tujuh puluh orang Mu’min yang
mengulurkan tangan kanan mereka ke tangan kanan Rasulullah saw. serta
menjabatnya dengan kuat, berjanji setia dan siap menjadi pembela.
Dan sekarang
ketika Rasululah saw. sudah bermukim di Madinah dan menjadikan kota itu sebagai
pusat bagi Agama Allah, maka nasib mujur yang sebesar-besamya telah
melimpah kepada Abu Ayub al-Anshari, karena rumahnya telah dijadikan rumah
pertama yang didiami muhajir agung, Rasulullah saw. yang mulia.
Rasulullah saw. telah memilih untuk menempati ruangan rumahnya tingkat pertama. Tetapi
begitu Abu Ayub al-Anshari naik ke kamarnya di tingkat atas ia pun jadi
menggigil, dan ia tak kuasa membayangkan dirinya akan tidur atau berdiri di suatu
tempat yang lebih tinggi dari tempat berdiri dan tidurnya Rasulullah saw.
Abu Ayub al-Anshari lalu mendesak Nabi dengan gigih dan mengharapkan beliau
agar pindah ke tingkat atas, hingga Nabi saw. pun memperkenankannya
pengharapannya itu .
Nabi saw. akan
berdiam di sana sampai selesai pembangunan masjid dan pembangunan biliknya di
sampingnya. Dan semenjak orang-orang Quraisy bermaksud jahat terhadap Islam dan
berencana menyerang tempat hijrahnya di Madinah, menghasut kabilah-kabilah lain
serta mengerahkan tentaranya untuk memadamkan nur Ilahi semenjak itulah Abu
Ayub al-Anshari mengalihkan aktifitasnya kepada berjihad pada jalan Allah. Maka
dimulainya dengan perang Badar, lalu Uhud dan Khandaq, pendeknya di semua medan
tempur dan medan laga, Abu Ayub al-Anshari tampil sebagai pahlawan yang sedia
mengurbankan nyawa dan harta bendanya untukAllah Rabul ‘alamin .
Bahkan sesudah
Rasulullah saw. wafat pun, tak pernah ia ketinggalan menyertai pertempuran yang
diwajibkan atas Muslimin sekalipun jauh jaraknya yang akan ditempuh dan berat
medan yang akan dihadapi. Semboyan yang selalu diulang-ulangnya, baik malam
ataupun siang dengan suara keras ataupun perlahan adalah firman Allah Ta’ala, “Berjuanglah
kalian, baik di waktu lapang, maupun di waktu sempit.” (Q·S.At-Taubat, 41)
Satu kali saja
Abu Ayub al-Anshari absen tidak menyertai balatentara Islam, karena sebagai
komandannya khalifah mengangkat salah seorang dari pemuda Muslimin, sedang Abu
Ayub al-Anshari tidak puas dengan kepemimpinannya. Hanya sekali saja, tidak lebih.
Sekalipun demikian, bukan main menyesalnya atas sikapnya yang selalu
menggoncangkan jiwanya itu, katanya, “Tak jadi soal lagi bagiku, siapa orang
yang akan jadi atasanku.”
Kemudian tak
pernah lagi ia ketinggalan dalam peperangan. Keinginannya hanyalah untuk hidup
sebagai prajurit dalam tentara Islam, berperang di bawah benderanya dan membela
kehormatannya. Sewaktu terjadi pertikaian antara Ali dan Mu’awiyah, ia berdiri di pihak Ali tanpa ragu-ragu, karena ialah Imam
yang telah dibai’at oleh Kaum Muslimin. Dan tatkala Ali syahid karena dibunuh,
dan khilafah berpindah kepada Mu’awiyah.
Abu Ayub
al-Anshari menyendiri dalam kezuhudan, bertawakkal lagi bertaqwa. Tak ada yang
diharapkannya dari dunia hanyalah tersedianya suatu tempat yang lowong untuk
berjuang dalam barisan para pejuang. Demikianlah, sewaktu diketahuinya bala
tentara Islam bergerak ke arah Konstantinopel, segeralah Abu Ayub al-Anshari
memegang kuda dengan membawa pedangnya, terus maju mencari syahid yang sudah
lama didambakan dan dirindukannya.
Dalam
pertempuran inilah Abu Ayub al-Anshari ditimpa luka berat. Ketika komandannya
pergi menjenguknya, nafasnya sedang berlomba dengan keinginannya hendak menemui
Allah . Maka bertanyalah panglima pasukan yang waktu itu Yazid bin Mu’awiyah,
“Apa keinginan Anda, wahai Abu Ayub al-Anshari?”
Aneh, adakah di
antara kita yang dapat membayangkan atau mengkhayalkan apa keinginan Abu Aiyub
itu? Tidak sama sekali! Keinginannya sewaktu nyawa hendak berpindah dari
tubuhnya ialah sesuatu yang sukar atau hampir tak kuasa manusia membayangkan
atau mengkhayalkannya. Sungguh, Abu Ayub al-Anshari telah meminta kepada Yazid,
bila ia telah meninggal, agar jasadnya dibawa dengan kudanya sejauh-jauh jarak
yang dapat ditempuh ke arah musuh, dan di sanalah ia akan dikebumikan.
Kemudian
hendaklah Yazid berangkat dengan balatentaranya sepanjang jalan itu, hingga
terdengar olehnya bunyi telapak kuda Muslimin di atas kuburnya dan
diketahuinyalah bahwa mereka telah berhasil mencapai kemenangan dan keuntungan
yang mereka cari. Apakah Anda kira ini hanya lamunan belaka? Tidak, dan
ini bukan khayalan, tetapi kejadian nyata, kebenaran yang akan disaksikan dunia
di suatu hari kelak, di mana ia menajamkan pandangan dan memasang telinganya,
hampir-hampir tak percaya terhadap apa yang didengar dan dilihatnya.
Dan sungguh,
wasiat Abu Ayub al-Anshari itu telah dilaksanakan oleh Yazid. Di jantung kota
Konstantinopel yang sekarang bernama Istanbul, di sanalah terdapat pandam
pekuburan laki-laki besar besar itu.
Hingga sebelum
tempat itu dikuasai oleh orang-orang Islam, orang-orang Romawi
penduduk Konstantinopel memandang Abu Ayub al-Anshari di makamnya
itu sebagai orang kudus suci. Dan Anda akan tercengang jika mendapati semua
ahli sejarah yang mencatat peristiwa-peristiwa itu berkata, “Orang-orang Romawi
sering mengunjungi dan berziarah ke kuburnya dan meminta hujan dengan
perantaraannya, bila mereka mengalami kekeringan.”
Sekalipun
perang dan pertempuran memenuhi kehidupannya, hingga tak pernah membiarkan
pedangnya terletak beristirahat, namun corak kehidupannya adalah tenang
tenteram laksana desiran bayu di kala fajar datang menjelma . Sebabnya Abu Ayub
al-Anshari pernah mendengar ucapan Rasulullah saw. yang terpateri dalam
hatinya,
“Bila engkau
shalat, maka shalatlah seolah-olah yang terakhir atau hendak berpisah. Jangan sekali-kali mengucaphan kata-kata yang menyebabhan engkau harus
meminta maaf. Lenyapkan harapan terhadap apa yang berada di tangan orang
lain.”
Dan oleh karena
itulah tak pernah lidahnya terlibat dalam suatu fitnah dan dirinya tidak
terjerembab dalam kerakusan. Abu Ayub al-Anshari telah menghabiskan hidupnya
dalam kerinduan ahli ibadah dan ketahanan orang yang hendak berpisah. Maka
sewaktu ajalnya datang tak ada keinginannya di sepanjang dan selebar dunia
kecuali cita-cita yang melambangkan kepahlawanan dan kebesarannya selagi
hidupnya, “Bawalah jasadku jauh-jauh jauh masuk ke tanah Romawi, kemudian
kuburkan aku di sana.”
Abu Ayub
al-Anshari yakin sepenuhnya akan kemenangan, dan dengan mata hatinya dilihatnya
bahwa wilayah ini telah termasuk dalam taman impian Islam, dalam lingkungan
cahaya dan sinarnya. Karena itulah ia menginginkannya sebagai tempat
istirahatnya yang terakhir, yakni di ibukota negara itu, di mana akan terjadi
pertempuran yang menentukan, dan dari bawah tanahnya yang subur, ia akan
dapat mengikuti gerakan tentara Islam, mendengar kepakan benderanya, dan bunyi
telapak kudanya serta gemerincing pedang-pedangnya
Sekarang ini
Abu Ayub al-Anshari masih terkubur di sana . Tetapi tidak lagi mendengar
gemerincing pedang, atau ringkikan kuda. Keadaan telah berlalu, dan kapal telah
berlabuh di tempat yang dituju, sejak waktu yang lama. Tetapi setiap hari, dari
pagi hingga petang didengarnya suara adzan yang berkumandang dari
menara-menaranya yang menjulang di angkasa, bunyinya, “Allah Maha Besar.
Allah Maha Besar.”
Dan
dengan rasa bangga, di dalam kampungnya yang kekal dan di mahligai kejayaannya
ia menyahut, “Inilah apa yang telah dijanjikan Allah dan Rasul-Nya .Dan
benarlah Allah dan Rasul-Nya.”
Kita teladani beliau....
BalasHapusPosting Komentar
Terima kasih telah membaca, mudah-mudahan apa yang anda baca ada manfaatnya. Dengan senang hati, jika anda berkomentar pada tempat yang disediakan dengan bahasa yang santun..